Berlin - Lima bulan sebelum pemilu Eropa pada Mei 2019, para pimpinan Uni Eropa telah mengusulkan agar anggaran divisi yang bertugas mengatasi disinformasi, ditingkatkan menjadi dua kali lipat. Dari yang semula hanya 1,9 juta euro (Rp 31,3 miliar) menjadi 5 juta euro (Rp 82,4 miliar).
Mereka khawatir pemilu Eropa akan gampang disusupi oleh para peretas Rusia, dengan maksud menggiring opini publik ke arah tertentu. Tudingan seperti itu sudah lama ditujukan ke Negeri Beruang Merah, yang terbukti beberapa kali berusaha menerobos jaringan komputer internal negara-negara di Eropa.
"Disinformasi adalah bagian dari doktrin militer Rusia dan strateginya untuk memecah dan melemahkan Barat," kata Andrus Ansip, Wakil Presiden Uni Eropa Bidang Digital, yang dikutip dari DW Indonesia pada Jumat, (7/12/2018).
Lebih banyak staf dan peralatan canggih
Rusia menghabiskan 1,1 miliar euro setiap tahun untuk mendanai media-media pro-Kremlin, kata Andrus Ansip, yang juga mantan perdana menteri Estonia.
"Kami telah melihat upaya (Rusia) untuk ikut campur dalam pemilihan dan referendum. Bukti-bukti menunjuk ke negara itu sebagai sumber utama serangan ini," tambahnya.
Uni Eropa sekarang ingin mempekerjakan lebih banyak staf dengan peralatan yang lebih canggih di kantor pusat di Brussels. Selain itu, kantor-kantor perwakilan Uni Eropa di berbagai bagian dunia juga akan memiliki perlengkapan dan pengamanan lebih baik.
Data-data dan analisis mengenai penggalangan propaganda lewat fake news nantinya dengan cepat dapat disebarkan di antara negara-negara anggota Uni Eropa.
Dengan sebuah mekanisme "peringatan cepat", pemerintah yang bersangkutan akan mendapat peringatan dini sekaligus strategi dan cara menangkis propaganda dan serangan dengan informasi.
Saksikan video pilihan berikut ini:
No comments:
Post a Comment