Februari lalu dikabarkan bahwa utang AS terus meningkat hingga menyentuh USD 22 triliun atau Rp 309 ribu triliun (asumsi kurs USD 1 = Rp 14.092). Angka itu sudah melewati 100 persen Gross Domestic Product(GDP)/Produk Domestik Bruto (PDB) negara.
Dilansir CNBC, utang AS pada era Presiden Donald Trump merangkak naik USD 2,06 triliun dari total utang era Presiden Barack Obama, yakni USD 19,9 triliun. Bila dibandingkan lewat rasio utang terhadap GDP, utang AS naik 0,5 persen dari era Obama, yakni dari 103,6 persen menjadi 104,1 persen.
Membandingkan utang pada GDP penting karena mengukur kemampuan pemerintah membayar utang lewat pertumbuhan dan mengukur seberapa besar pertumbuhan yang diciptakan utang.
Kenaikan rasio utang di AS terjadi besar-besaran di era Presiden Obama. Padahal sebelumnya, utang AS di era Presiden Ronald Reagan menyentuh 65,3 persen pada pertengahan 1995, lalu turun di era Presiden Bill Clinton di level 30,9 persen di kuartal II 2001.
Ukuran penting lainnya adalah debt held by the public, atau uang yang dipinjam pada individu, negara bagian, pemerintah daerah, juga bank asing dan pihak lainnya di luar AS.
Rasio utang kategori tersebut terhadap GDP telah naik menjadi 75 persen sebelum Trump menjabat. Di awal Presiden Obama menjabat, rasionya 47,5 persen.
Sebelumnya, ketika utang AS menyentuh USD 20 triliun, Oppenheimerfunds mengingatkan agar tak perlu ada histeria pada nominal utang yang tampak besar. Pasalnya, aset negara AS masih sebesar USD 200 triliun. Salah satunya adalah aset migas senilai USD 128 triliun per tahun 2017.
"Singkatnya, aset dan kekuatan pajak pemerintah AS mengerdilkan utang mereka, yang bahkan belum mendekati solvency (kemampuan bayar utang)," tulis perusahaan pengelola aset global tersebut.
from Berita Hari Ini Terbaru Terkini - Kabar Harian Indonesia | Liputan6.com kalo berita gak lengkap buka link disamping http://bit.ly/2Dca0k9
No comments:
Post a Comment